Your Ad Here

Wednesday, December 16, 2009

Kedudukan KSK Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional, Penataan Ruang Kawasan Strategis Provinsi, dan Penataan Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota.


Rencana umum tata ruang memiliki hirarki, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer dengan koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pengaturan penataan ruang dilakukan melalui penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang termasuk pedoman bidang penataan ruang.


RPKSK dilaksanakan dengan memperhatikan koordinasi penyelenggaraan penataan ruang dan sosialisasi rencana penataan ruang pada pemangku kepentingan. Penyebarluasan informasi penataan KSK kepada masyarakat diharapkan pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.


Rencana Tata Ruang Wilayah terdiri dari Rencana Umum Tata Ruang dan Rencana Rinci Tata Ruang. Rencana Rinci Tata Ruang


Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional, Provinsi, Rencana Rinci Tata Ruang Kabupaten dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten.

Rencana Rinci Tata Ruang disusun sebagai perangkat operasional Rencana Umum Tata Ruang. Rencana Rinci Tata Ruang disusun apabila Rencana Umum Tata Ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang; dan rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan. Atas dasar hal ini maka diperlukan Rencana Pengembangan KSK.

Thursday, October 29, 2009

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Perubahan arah kebijakan penanggulangan kemiskinan sebenarnya telah dimulai lebih awal dari yang dirumuskan dalam SNPK, demikian juga tertuang dalam dokumen RPJM bab 16 tentang penangulangan kemiskinan disebutkan bahwa permasalahan kemiskinan akan dilihat dari aspek pemenuhan hak dasar, beban kependudukan serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender,

namun hingga saat ini (terutama pada tahun 2006) dirasakan masih belum terjadi keterpaduan. Untuk itu, dimulai penghujung tahun 2006 dilakukan penajaman arah kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan.

Sebelum menjelaskan tentang arah kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan pada tahun 2007 ini, maka terlebih dahulu dirunut dari perbahan sudut pandang tentang kemiskinan, masyarakat, dan manajemen pembangunan yang digunakan. Ditambah lagi dengan diperlukan pembacaan atas produk-produk hukum yang telah berlaku yang mengatur tentang manajemen pembangunan, terutama tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Undang-Undang 17/2004 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2005 tentang desentralisasi dan otonomi daerah.

SURVEI TEKNIS

Survey teknis adalah merupakan kegiatan kunci dalam perencanaan jalan, karena survey teknis dilakukan untuk menjamin pemilihan dan penentuan jenis kegiatan atau item pekerjaan dan harus memenuhi kriteria yang disyaratkan, dapat memberikan manfaat yang diharapkan, dapat dibangun dengan harga seimbang/sesuai, tidak mempunyai masalah teknis yang berat, dan tidak merusak lingkungan.


Survei teknis yang dianjurkan adalah survey antar patok, karena sistem tersebut dapat dilakukan dengan alat yang sederhana dan mudah didapat. Perhitungan yang digunakan juga mudah.


Prinsip dasar dari survey antar patok adalah jalan dibagi menjadi segmen kecil-kecil, antara 25 meter sampai 50 meter, perhitungan volume, dan perhitungan tenaga dicari tiap segmen yang kemudian dijumlahkan untuk ruas keseluruhan.

Kabupaten, kecamatan, dan desa; diisi sesuai lokasi proyek

Bahan, lebar, dan tebal perkerasan; diisi sesuai bahan yang akan digunakan, lebar jalan termasuk saluran tepi, dan tebal yang disyaratkan.

Lebar badan jalan; termasuk bahu kiri dan kanan, tidak termasuk saluran pinggir

Panjang jalan; diisi panjang keseluruhan termasuk cabang-cabang yang akan dikerjakan.

Dimensi saluran; ukuran lebar dan kedalaman saluran.

Jenis gorong-gorong; diisi jenis yang akan digunakan pada umumnya. Bila ada jenis lain di tempat tertentu, harus disebutkan pada kotaknya.

Nomor patok; penomoran patok dimulai dari Patok 0 dan setiap patok 50 m diberi nomor. Patok harus semipermanen agar bertahan sampai akhir proyek.


Jarak antar patok; biasanya 50 m, tetapi boleh kurang bila dirasa perlu, seperti di lokasi yang ada perubahan arah/ tanjakan/situasinya cukup besar.

Jarak komulatif; jarak dari awal proyek. Bila ada cabang dapat dimulai dari nol lagi.
Arah trase; perkiraan arah dari patok pertama melihat ke patok kedua. Ditulis dengan satuan derajat dari utara , timur , dst. Diukur dengan kompas tangan.
Tanjakan; persentase tanjakan pada bagian tercuram antara dua patok. digunakan bila jalan naik dari patok pertama, dan tanda ’-‘ bila jalan menurun
Panjang tanjakan; panjangnya tanjakan yang dicatat diatas. Bila tanjakan lebih panjang dari satu kotak, kotak tersebut diberi tanda "SV" Keadaan sekitar jalan; dicatat keadaan seperti hutan, sawah, lewat sungai, rawa, dll.Keadaan jalan lama; lebar jalan yang sudah ada, apakah pernah diperkeras.

15. Jumlah pohon; jumlah pohon besar yang perlu ditebang untuk pembangunan.

16. Penebasan; rata-rata lebar dan panjang penebasan yang diperlukan, tidak termasuk bagian yang tidak perlu ditebas seperti jalan lama.

17. Pembersihan; rata-rata lebar dan panjang pembersihan / pengupasan yang diperlukan, termasuk saluran dan dasar timbunan.

18. Jenis galian; galian biasa, tanah keras, batu, lumpur, dsb. Bila terdapat dua atau lebih jenis gaian yang bervolume besar, perlu dicatat data masing-masing.

19. Volume galian; estimasi/perhitungan volume galian antar dua patok dengan cara rata-rata luas penampang dikalikan panjangnya.

20. Volume timbunan; perhitungan volume timbunan antar dua patok.

21. Jarak dari sumber timbunan; bila tanah timbunan harus diangkut dengan jarak lebih dari 50 m ke patok-patok. Kurang dari 50 m tidak perlu diisi.

22. Saluran; diisi jumlah saluran pinggir jalan yang diperlukan. Diisi dengan KR (kiri saja), KN (kanan saja), 2 (ki-ka), atau 0 (tidak perlu)

23. Bangunan yang ada; catatan mengenai gorong-gorong, jembatan, dan tembok yang sudah ada dan tidak perlu diganti. Dicatat jenis dan dimensi pokoknya.

24. Letak dan jenis bangunan baru; perkiraan jumlah jembatan, gorong-gorong, atau tembok yang diperlukan, dengan jarak dari patok pertama (misal “+25 m”)

25. Ukuran bangunan baru; ukuran pokok bangunan yang diperlukan diatas.

26. Jarak dari sumber_________; tempat disediakan untuk tiga bahan yang diperlukan. Dicatat bila jarak > 50 m dan diangkut oleh manusia. Bila diangkut dengan kendaraan meke jarak tidak perlu dicatat.

27. Kebutuhan gebalan rumput; dicatat jumlah ruas yang perlu dilindungi gebalan rumput.

28. Jarak dari sumber gebalan; dicatat bila > 50 m saja.

29. Sket kondisi tanah asli untuk perencanaan jalan; untuk mencatat keadaan tanah asli dan perkiraan kebutuhan galian dan atau timbunan. Pada tiap patok disket potongan memanjang dan melintang jalan pada titik tersebut, kemudian ditandai bagian galian dan atau timbunan dengan perkiraan dimensi dan luas penampangnya.

Monday, October 26, 2009

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Masalah kemiskinan merupakan bagian yang selalu muncul dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Tidak berbeda dengan permasalahan yang dihadapi oleh berbagai negara lain, khususnya negara-negara berkembang, Indonesia juga menghadapi masalah kemiskinan yang perlu ditanggulangi secara berkelanjutan. Indonesia yang merupakan salah satu negara yang memiliki sumberdaya alam yang sangat besar seharusnya dapat memanfaatkannya sebagai modal penting dalam upaya memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya. Namun kenyataannya, hingga saat ini masih sangat banyak penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan yang ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan dalam menyampaikan aspirasinya.

Meskipun upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama tiga dasawarsa yang lalu telah dapat mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan, namun kondisinya masih rentan terhadap perubahan situasi politik, ekonomi, sosial, dan bencana alam yang terjadi di beberapa daerah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa dalam upaya penanggulangan kemiskinan pada masa yang lalu masih mengandung beberapa kelemahan dan perlu dikoreksi dan disempurnakan secara mendasar, menyeluruh, dan berkesinambungan.

Beberapa kelemahan upaya penanggulangan kemiskinan tersebut antara lain disebabkan oleh : (i) Masih berorientasinya pada pertumbuhan ekonomi makro; (ii) Kebijakan yang terpusat; (iii) bersifat karikatif; (iv) Memposisikan masyarakat sebagai objek kegiatan pembangunan; (v) Cara pandang kemiskinan yang hanya berorientasi pada aspek ekonomi; dan (vi) Asumsi permasalahan dan upaya penanggulangan kemiskinan disamakan untuk seluruh Wilayah Indonesia (uniformitas).

Pemerintah selama ini telah melakukan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan melalui berbagai kebijakan dan program penyediaan kebutuhan dasar seperti; pangan, pelayanan kesehatan, perluasan kesempatan kerja, bantuan prasarana dan sarana pertanian, bantuan kredit usaha bagi masyarakat miskin, bantuan prasarana permukiman kumuh perkotaan. Namun demikian, upaya penanggulangan kemiskinan tersebut lebih condong pada pengembangan proyek-proyek sektoral dan pelaksanaannya di lapangan kurang terintegrasi. Sementara itu berbagai regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah seringkali tidak berpihak pada kebutuhan mendasar yang diinginkan oleh masyarakat miskin atau bahkan dapat menyebabkan terjadinya proses emiskinapn.

Pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang tertuang dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede). Namun program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis politik tahun 1965.

Sejak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program penanggulangan kemiskinan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), khususnya Repelita I-IV yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional. Pada Repelita V-VI, pemerintah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi. Jalur pembangunan ditempuh secara khusus dan mensinergikan program reguler sektoral dan regional yang ada dalam koordinasi Inpres Nomor 3 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan yang akhirnya diwujudkan melalui program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Upaya selama Repelita V-VI pun gagal akibat krisis ekonomi dan politik tahun 1997.

Selanjutnya guna mengatasi dampak krisis lebih buruk, pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Keppres Nomor 190 Tahun 1998 tentang Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan Jaring Pengaman Sosial. Pelaksanaan berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan dan kendala pelaksanaannya selama 40 tahun terakhir meyakinkan pemerintah bahwa upaya penanggulangan kemiskinan dianggap belum mencapai harapan.

Melihat semakin urgennya permasalahan Kemiskinan di Indonesia maka melalu Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 junto Nomor 34 dan Nomor 8 Tahun 2002 maka dibentuklah Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang berfungsi sebagai forum lintas pelaku dalam melakukan koordinasi perencanaan, pembinaan, pemantauan dan pelaporan seluruh upaya penanggulangan kemiskinan.

Untuk lebih mempertajam keberadaan Komite Penanggulangan Kemiskinan maka pada tanggal 10 September 2005 dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Keberadaan TKPK diharapkan melanjutkan dan memantapkan hasil-hasil yang telah dicapai oleh KPK.

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tugas dari TKPK adalah melakukan langkah-langkah konkret untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah NKRI melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilaksanakan antara lain P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa), UEDSP (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), IDT (Inpres Desa Tertinggal), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), PPK (Program Pengembangan Kecamatan), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), PDMDKE (Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi, P2MPD (Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), dan program pembangunan sektoral telah berhasil memperkecil dampak krisis ekonomi dan mengurangi kemiskinan.

Program penanggulangan kemiskinan dilakukan juga oleh koordinasi Bank Indonesia melalui berbagai program keuangan mikro (microfinance) bersama bank-bank pembangunan daerah (BPD) dan bank-bank perkreditan rakyat (BPR) bekerja-sama dengan lembaga-lembaga keuangan milik masyarakat seperti Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan (LDKP) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).

Selain itu beberapa lembaga keuangan milik pemerintah (Badan Usaha Milik Negara, BUMN) maupun milik swasta atas inisiatif sendiri menyelenggarakan pula program keuangan mikro dengan berbagai variasi dan kekhasan masing-masing lembaga keuangan itu. Demikian pula kalangan usaha nasional non-lembaga keuangan, baik milik pemerintah (BUMN) maupun bukan milik swasta telah mengambil inisiatif melakukan upaya penanggulangan kemiskinan melalui beragam program, mulai dari bantuan sosial hingga bantuan ekonomi.

Saturday, October 17, 2009

latar belakang

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbagai upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan pengangguran telah lama dilakukan oleh Pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program nasional. Dengan dimulai pada tahun 1994, Pemerintah menjalankan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang kemudian dilanjutkan dengan program-program sejenis lainnya, seperti Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D), Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dan Proyek Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD). Sejalan dengan itu, dimulai pada tahun 1998, beberapa perubahan paradigma yang mendasar telah terjadi di Indonesia, seperti desentralisasi, reformasi sistem keuangan negara dan sistem perencanaan pembangunan nasional, yang mempengaruhi seluruh pelaksanaan program Pemerintah, termasuk beberapa program yang telah disebutkan.

Beberapa peraturan perundang-undangan telah diterbitkan terkait dengan desentralisasi, diantaranya adalah Undang-undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selanjutnya terkait dengan reformasi sistem keuangan negara adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang kemudian diikuti dengan diberlakukanya UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Adapun terkait dengan pengembangan wilayah, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagai perbaikan dan penyesuaian dari UU No. 24 Tahun 1992, juga telah diterbitkan.

Dilain pihak, pelaksanaan otonomi daerah menghadapi beberapa kendala, terutama pada dua hal penting, yaitu kapasitas sumberdaya manusia (SDM) dan kapasitas fiskal daerah, yang keduanya masih rendah di sebagian besar daerah di Indonesia.

Rendahnya kapasitas SDM, baik aparat pemerintah daerah maupun masyarakat pelaku utama pembangunan, menyebabkan kemampuan daerah tidak optimal dalam melaksanakan kewenangan pemerintahan dan pembangunan, yang di dalamnya termasuk kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan penyerapan aspirasi dan pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan yang partisipatif. Di dalam UU No. 25 Tahun 2004, secara tegas telah digariskan kebijakan nasional yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan.

Sementara itu, rendahnya kapasitas fiskal daerah menyebabkan kemampuan daerah menjadi amat terbatas dalam melakukan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Terlebih lagi, seringkali terjadi perencanaan keuangan yang kurang efektif terkait dengan pengalokasian dana Pemerintah di daerah dalam proses integrasi dengan penggunaan dana pembangunan daerah. Dilihat dari aspek pengembangan wilayah, keterbatasan kemampuan pemerintah daerah jelas terjadi dalam ketidaksesuaian antara dokumen perencanaan daerah dengan rencana tata ruang wilayah.

Selanjutnya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004–2009 telah menempatkan upaya penanggulangan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan pembangunan antarwilayah sebagai bagian dari prioritas utama pembangunan nasional dalam agenda Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Terdapat 5 (lima) sasaran yang ingin dicapai dalam agenda tersebut, yaitu:

1) Menurunnya jumlah penduduk miskin dan terciptanya lapangan kerja yang mampu mengurangi tingkat pengangguran terbuka;

2) Berkurangnya kesenjangan antarwilayah yang tercermin dari :

a. Meningkatnya peran perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi;

b. Meningkatnya pembangunan pada daerah-daerah terbelakang dan tertinggal;

c. Meningkatnya pengembangan wilayah yang didorong oleh daya saing kawasan dan produk-produk unggulan daerah; serta

d. Meningkatnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antar kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil dengan memperhatikan keserasian pemanfaatan ruang dan penatagunaan tanah.

3) Meningkatnya kualitas manusia yang secara menyeluruh tercermin dari membaiknya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) serta meningkatnya pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran agama;

4) Membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam yang mengarah pada pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip pembangunan berkelanjutan di seluruh sektor dan bidang pembangunan; serta

5) Membaiknya infrastruktur yang ditunjukkan oleh meningkatnya kuantitas dan kualitas berbagai sarana penunjang pembangunan.

Dengan memperhatikan beberapa kondisi di atas, kemudian dikembangkan suatu program yang dapat menjawab kebutuhan dalam melakukan pengurangan kesenjangan antarwilayah, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan tingkat pengangguran terbuka dengan juga meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam melaksakana desentralisasi dan otonomi daerah. Program tersebut merupakan kelanjutan dan penyempurnaan program sebelumnya, P2D, dan disebut sebagai program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (Regional Infrastructure for Social and Economic Development – RISE), yang kemudian disingkat dengan PISEW.

Secara nasional, beberapa program sejenis lainnya yang juga ditujukan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan pengurangan tingkat pengangguran, telah diintegrasikan dalam satu kerangka kebijakan nasional yang dikenal dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program PISEW dengan intervensi berupa bantuan teknis dan investasi infrastruktur dasar perdesaan, dibangun dengan berorientasi pada konsep “Community Driven Development (CDD)” dan “Labor Intensive Activities (LIA)”, sehingga kemudian dikategorikan sebagai salah satu program inti PNPM-Mandiri. Dengan demikian kemudian program PISEW dikenal dengan nama PNPM-PISEW.

1.2 Tujuan dan Sasaran
1.2.1. Tujuan

Mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat perdesaan dengan berbasis pada sumberdaya lokal untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah, pengentasan kemiskinan, memperbaiki pengelolaan pemerintahan daerah di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa (local governance), serta penguatan institusi lokal di tingkat desa.

1.2.2. Sasaran

1) Terbangunnya infrastruktur dasar perdesaan yang meliputi pembangunan infrastruktur (prasarana) pada 6 (enam) kategori, yaitu: (i) transportasi, (ii) produksi pertanian, (iii) pemasaran pertanian, (iv) air bersih dan sanitasi, (v) pendidikan, serta (vi) kesehatan;

2) Terbentuknya Kawasan Strategis Kabupaten (KSK), Kelompok Usaha Mikro (KUM), dan forum Kelompok Diskusi Sektor (KDS);

3) Meningkatnya kapasitas pemerintah daerah dalam berperan sebagai fasilitator dalam melaksanakan pembangunan melalui penyelenggaraan Pelatihan Perencanaan Pembangunan, dan Pelatihan Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan;

4) Meningkatnya kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, yang tercermin dari menguatnya fungsi KDS, melalui rangkaian pelaksanaan musyawarah pembangunan dari tingkat desa hingga ke tingkat kabupaten.

Pelaksanaan kegiatan PNPM-PISEW diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan dilakukan 1 (satu) kali dalam setiap tahun terhadap unit pelaksana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6.2 Penanganan Pengaduan

1) Pembentukan Unit Pengaduan Masyarakat (UPM)

Project Management Unit (PMU) bersama Ditjen PMD Departemen Dalam Negeri memfasilitasi pembentukan dan operasionalisasi UPM di semua wilayah kerja, baik pusat maupun daerah, sebagai wadah untuk menampung aspirasi, kepedulian, dan pengaduan atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi serta menindaklanjuti secara berjenjang pada setiap tahapan kegiatan.

2) Penyampaian dan Penerimaan Pengaduan

Pengaduan dapat berasal dari perorangan atau kelompok masyarakat (LSM, perguruan tinggi, dan sebagainya). Untuk memudahkan penyampaian pengaduan, maka pengaduan dapat disampaikan ke UPM terdekat. Penyampaian dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti surat/kotak pos, faksimile, telepon, email, dan sebagainya.

3) Penyelesaian Pengaduan

Unit Pengaduan Masyarakat (UPM) melakukan pemilahan terhadap pengaduan yang masuk, baik pengaduan yang bersifat administratif maupun pengaduan yang bersifat pelanggaran hukum. Penyelesaian penanganan pengaduan dilakukan sesuai dengan tingkatan permasalahan yang ada.

Gambaran proses penyelesaian penanganan pengaduan untuk PNPM-PISEW dapat dilihat pada Gambar 6.1.

Gambar 6.1

Bagan Alir Penanganan Pengaduan

BAB VII

PENUTUP

Pedoman Umum ini menjadi dasar arahan dan petunjuk pelaksanaan kegiatan PNPM-PISEW, yang penjabarannya dituangkan di dalam Panduan Pelaksanaan dan Panduan Teknis yang diterbitkan secara tersendiri.

TAHAP PERENCANAAN TINGKAT DESA

A b s t r a k s i

TAHAP PERENCANAAN TINGKAT DESA

Kegiatan perencanaan yang bottom-up menjadikan desa sebagai basis pada perencanaan pembangunan. Kegiatan yang diselenggarakan dengan azas DOUM dimulai dengan adanya sosialisasi ini bertujuan untuk mengkomunikasikan maksud dan tujuan program kepada masyarakat. Melalaui sosisalisasi dini diharapkan partisipasi aktif dari masyarakat akan

terlaksana.

Apapun hasil dari kegiatan selalu disosialisasikan kepada segenap pemangku

kepentingan melalui sosialisasi. Kegiatan-kegiatan perencanaan di tingkat Desa terdiri atas :

1. Sosialisasi Desa

2. Penjaringan Aspirasi Masyarakat (Diskusi KDS)

3. Finalisasi Usulan Kegiatan Desa (RPJM Desa)

4. Sosialisasi Hasil Musrenbang Kecamatan #2 di Desa

5. Survey Data Analisis Kelayakan dan Dampak Kegiatan

6. Sosialisasi Hasil Musrenbang #3 Kecamatan di Desa

7. Survei dan Investigasi Teknis Sarana dan Prasarana serta identifikasi LKD

8. Sosialisasi Hasil Musrenbang Kecamatan #4 di Desa

Friday, October 16, 2009

TAHAP PERENCANAAN TINGKAT KECAMATAN

A b s t r a k s i

TAHAP PERENCANAAN TINGKAT KECAMATAN

Kegiatan ini bertujuan untuk menyusun produk perencanaan tingkat kecamatan secara sistematis melalui kelompok diskusi sektor yang menghasilkan produk perencanaan yang disebut dengan Rencana Strategis Kecamatan ( Renstra Kecamatan). Setelah melalui kegiatan berupa sinkronisasi dan analisis memakai mekanisme forum-forum yang disbut dengan pra- musrenbang maka dihasilkan dokumen perencanaan Program Inventasi Kecamatan(PIK).

Akhirnya pada tahap perencanaan ini akan didapatkan kesepakatan atas paket dan calon LKD yang akan melaksanakan pembangunan fisik di tahun berikutnya, semuanya mengikuti prinsip musyawarah.

Produk-produk perencanaan di tingkat Kecamatan terdiri atas :

1. Pembentukan Tim Pokja Kecamatan dan Persiapan Calon Peserta Pelatihan Provinsi

2. Persiapan Sosialisasi Kecamatan

3. Musrenbang Kecamatan #1Sosialisasi Kecamatan (asumsi Σ kec 15 @ 2 kec/hari)

4. Analisis Potensi Pengembangan Kecamatan dan Kelompok Diskusi Sektor (KDS)

5. Penyusunan Profil PSE Kecamatan

6. Pelatihan Kader Pembangunan Desa (KPD)

7. Diskusi Antar KDS dan Desa

8. Perumusan Rencana Strategis Kecamatan (Renstra Kecamatan)

9. Penyusunan Draft Dokumen Renstra Kecamatan

10. Musrenbang Kecamatan #2; Kesepakatan atas Renstra Kecamatan

11. Finalisasi Dokumen Renstra Kecamatan

12. Sinkronisasi Antar Kegiatan dan Sumber Pendanaan

13. Analisis dan Penetapan Prioritas Kegiatan Jangka Menengah dan Tahunan (T)

14. Penyusunan Dokumen Rencana Kerja Pembangunan Tahunan (PIK)

15. Musrenbang Kecamatan #3; Kesepakatan atas PIK 5 tahun dan Tahun Pertama (T)

16. Finalisasi Dokumen PIK

17. Penyusunan DED-RAB dan Pemaketan Prasarana Tahunan (T)

18. Penyusunan Dokumen Resume Rencana Pelaksanaan Tahun (T)

19. Musrenbang Kecamatan #4; Kesepakatan atas Paket dan Calon LKD Kegiatan Tahun (T)

20. Penyiapan Bahan Pengadaan Jasa LKD

Thursday, October 15, 2009

TAHAP PERENCANAAN TINGKAT KABUPATEN

A b s t r a k s i

TAHAP PERENCANAAN TINGKAT KABUPATEN

Kegiatan ini bertujuan untuk menyusun produk perencanaan tingkat kabupaten secara sistematis dari perumusan kebijakan, rangkaian program sampai dengan daftar kegiatan untuk didanai oleh berbagai sumber pembiayaan. Pemerintah Kabupaten diharapkan dapat meningkat

kemampuannya dalam berkoordinasi dengan tingkatan di atasnya (provinsi dan pusat) dan diantara dinas/instansi terkait, serta dalam merespon dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat di tingkat kecamatan dan desa.

Produk-produk perencanaan di tingkat Kabupaten terdiri atas :

1. Sekretariat PISEW yang terlatih dan siap menjalankan tugas dan fungsinya

2. Tersosialisasikannya Program PISEW di Kabupaten

3. Terselenggaranya Lokakarya dan terumuskannya Issue Strategis PISEW

4. Tersusunnya Misi PSE beserta prioritasnya

5. Tersusunnya Indikator Misi PSE beserta target pencapainnya

6. Tersusunnya Dokumen Kebijakan PSE Kabupaten Jangka Menengah

7. Terselenggaranya Forum Konsultasi I untuk menyepakati Kebijakan PSE Kabupaten Jangka Menengah

8. Teridentifikasinya Profil PSE Kabupaten

9. Tersusunnya Strategi dan Program PSE Jangka Menengah

10. Ditetapkannya Kawasan Strategis Kabupaten (KSK)

11. Tersusunnya Dokumen Program PSE Kabupaten Jangka Menengah

12. Terselenggaranya Forum Konsultasi II untuk menyepakati Program PSE Kabupaten Jangka Menengah

13. Tersusunnya Prioritas Kegiatan PSE Jangka Menengah

14. Tersusunnya Kegiatan Jangka Menengah yang Sinkron dengan Provinsi dan Kecamatan (PIK)

15. Ditetapkannya Rencana Biaya dan Sumber Pembiayaan

16. Tersusunnya Prioritas Kegiatan PSE Tahun (T)

17. Tersusunnya Dokumen Memorandum Program Koordinatif (MPK) Tahun (T)

18. Terselenggaranya Forum Konsultasi III untuk menyepakati MPK Tahun (T)

19. Tersusunnya Dokumen Promosi PSE Kabupaten

20. Terverifikasinya DED, RAB dan OM atas Paket Kegiatan Tahun (T)

Wednesday, October 14, 2009

TAHAP PERENCANAAN TINGKAT PROVINSI

A b s t r a k s i

TAHAP PERENCANAAN TINGKAT PROVINSI

Kegiatan ini bertujuan untuk pengarahan pelaksanaan program PISEW dengan memberikan arahan kebijakan dibidang PSE dan menurunkan kebijakan tersebut kedalam program kerja tahunan. Pengendalian di provinsi dilakukan kegiatan –kegiatan monitoring dan aevaluasi yang

dilaksanakan bersama dengan tim pusat. Provinsi juga memfasilitasi kabupaten untuk melakukan promosi PSE di tingkat Provinsi.

Kegiatan dalam tahap perencanaan di tingkat Provinsi terdiri atas :

1. Pembentukan Tim PISEW Provinsi dan Persiapan Calon Peserta Pelatihan Pusat

2. Persiapan Pelatihan Provinsi

3. Pelaksanaan Diseminasi dan Pelatihan Provinsi serta Persiapan Tim PISEW Provinsi

4. Penyusunan Arahan Kebijakan Pemberdayaan Sosial Ekonomi (PSE) Provinsi

5. Penyampaian Arahan Kebijakan PSE Provinsi ke Kabupaten

6. Konsolidasi dan Sinkronisasi Arah Kebijakan PSE Kabupaten

7. Monitoring dan Evaluasi#1

8. Penyusunan Arahan Program Pembangunan Jangka Menengah PSE Provinsi

9. Penyampaian Arahan Program Pembangunan Jangka Menengah PSE Provinsi

10. Monitoring dan Evaluasi#2

11. Penyusunan Rencana Kegiatan Tahunan Provinsi

12. Penyampaian Rencana Kegiatan Tahunan Provinsi

13. Monitoring dan Evaluasi#3

14. Promosi PSE Provinsi

15. Penyusunan Dokumen Promosi PSE Provinsi

16. Monitoring dan Evaluasi#4

Thursday, September 17, 2009

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2005 – 2009 (Perpres 7/2005), terdapat 5 (lima) sasaran yang ingin dicapai dalam upaya menciptakan kesejahteraan rakyat yaitu: 1) mengurangi kemiskinan dan pengangguran; 2) berkurangnya kesenjangan antar wilayah dengan prioritas pada pembangunan wilayah perdesaan serta ketimpangan pembangunan wilayah; 3) meningkatnya kualitas manusia; 4) meningkatnya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam, dan; 5) meningkatnya dukungan infrastruktur yang ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas sarana penunjang pembangunan.

Terkait dengan pembangunan daerah, keterbatasan kemampuan fiskal daerah menjadi kendala dalam pencapaian sasaran diatas. Oleh karena itu, salah satu solusi yang harus ditempuh adalah melalui bantuan pendanaan dari pemerintah pusat, baik melalui dana perimbangan,dana dekonsentrasi maupun tugas pembantuan. Salah satu program yang akan diluncurkan melalui pembantuan Pemeirntah kepada Pemeirntah Daerah adalah Regional Infrastructure for Social and Economic Development (RISE) atau Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah yang kemudian disingkat PISEW. Sesuai Loan Agreement No. IP.543, PISEW adalah sebuah program yang merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari P2D dan pilot project PKP2D serta penyesuaian terhadap berbagai isu dan kebijakan aktual yang berkembang saat ini, termasuk di dalamnya menjawab berbagai persoalan yang dihadapi oleh daerah dalam menyelenggaraan otonomi daerah. Instansi teknis yang terlibat dalam Program PISEW adalah Departemen Pekerjaan Umum melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya sebagai Executing Agency dan penangggung jawab pekerjaan program PISEW (PMU : Project Management Unit), Departemen Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah (Bangda) dan Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) sebagai PIU (Project Implementation Unit), yang akan berkoordinasi dengan Departemen Keuangan, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, dan Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal.

Program ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi ketimpangan antar-wilayah melalui Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat. Intervensi yang akan dilakukan adalah penyediaan bantuan teknis dan pemberian bantuan stimulus infrastruktur sosial dan ekonomi dasar yang dianggap akan dapat mendukung upaya pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat, melalui mekanisme yang partisipatif dan sinkron dengan sistem perencanaan pembangunan yang ada. Selain itu, dalam PISEW juga dilakukan penguatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam keseluruhan proses pembangunan.
 

Followers

PNPM PISEW Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template